![]() |
| Alex Rahman, mantan staf Kadisnaker Sumsel, Deliar. (Foto: PALTV) |
PALEMBANG.my.id – Alex Rahman, mantan staf Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kadisnaker) Sumatera Selatan (Sumsel) Deliar, divonis satu tahun penjara. Ia juga dikenakan denda Rp 100 juta subsider dua bulan kurungan dalam kasus gratifikasi terkait pengurusan Surat Keterangan Layak K3.
Vonis ini dibacakan langsung oleh majelis hakim yang diketuai oleh hakim Idi Il Amin SH MH, di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN Tipikor) Palembang, Selasa (8/7/2025).
Perjalanan Kasus yang Menjerat Alex Rahman
Kasus yang menjerat Alex Rahman ini memang sudah jadi sorotan publik. Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri Palembang sebelumnya menuntut Alex dengan pidana penjara yang jauh lebih berat, yakni 4 tahun penjara serta denda Rp 200 juta subsider 3 bulan. Tentu saja, vonis 1 tahun penjara yang dijatuhkan majelis hakim ini jauh lebih ringan dari tuntutan awal JPU.
Perkara ini bermula dari dugaan praktik gratifikasi dalam kepengurusan Surat Keterangan Layak K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) di lingkungan Disnaker Sumsel. Dokumen K3 ini sangat penting bagi perusahaan agar operasionalnya memenuhi standar keselamatan yang berlaku.
Baca Juga : Seberapa Besar Nilai Gratifikasi Kasus Deliar Marzoeki?
Sayangnya, proses yang seharusnya transparan dan sesuai prosedur, justru diduga dimanfaatkan untuk praktik "pelicin".
Majelis hakim dalam amar putusannya dengan jelas menyatakan bahwa Alex Rahman tidak sendirian. Ia terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, karena bersama-sama dengan Deliar Marzoeki, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Sumsel.
![]() |
| Mantan Kepala Dinas Nakertrans Prov Sumsel Deliar Marzoeki. (Foto: detikcom) |
Keduanya dianggap telah melakukan atau turut serta dalam praktik gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara, yang dalam hukum pidana korupsi dianggap sebagai pemberian suap. Ini menunjukkan bahwa gratifikasi bukan hanya soal menerima uang, tapi juga bisa diartikan sebagai bentuk suap yang merugikan integritas birokrasi.
Pasal yang menjerat Alex Rahman adalah Pasal 11 Ayat 1 tentang Gratifikasi. Pasal ini memang sengaja dibuat untuk menjerat praktik-praktik "hadiah" yang diterima oleh pejabat negara atau penyelenggara negara, yang kemudian dianggap sebagai suap jika berhubungan dengan jabatan atau wewenang. Jadi, meskipun awalnya terlihat sepele, praktik ini punya konsekuensi hukum yang serius.
Respons Berbeda: Terdakwa Menerima, JPU Pikir-Pikir
Setelah mendengarkan putusan yang dibacakan oleh majelis hakim, Alex Rahman, melalui tim kuasa hukumnya, menunjukkan sikap menerima vonis tersebut. Ini berarti mereka tidak akan mengajukan banding. Keputusan ini bisa jadi pertimbangan dari pihak Alex Rahman agar kasusnya tidak berlarut-larut.
Namun, di sisi lain, Jaksa Penuntut Umum (JPU) justru menyatakan pikir-pikir terhadap putusan tersebut. Sikap "pikir-pikir" ini adalah hal yang lumrah dalam proses peradilan. Ini memberikan waktu bagi JPU untuk mempertimbangkan apakah vonis yang dijatuhkan sudah sesuai dengan rasa keadilan dan bukti-bukti yang ada, ataukah mereka akan mengajukan upaya hukum banding.
Mengingat tuntutan JPU sebelumnya jauh lebih tinggi, kemungkinan besar mereka akan mengevaluasi kembali keputusan ini.
Kasus ini menjadi pengingat penting bagi para pejabat dan staf di pemerintahan untuk selalu berhati-hati dan menjunjung tinggi integritas dalam setiap tugas. Apalagi, kasus gratifikasi seringkali menjadi pintu masuk bagi tindak pidana korupsi yang lebih besar. Kita tunggu saja apakah JPU akan melanjutkan ke tahap banding atau menerima putusan ini. (min)
.jpg)
